.

Rabu, 18 Ogos 2010

KHUTBAH RASULULLAH SAW MENJELANG BULAN RAMADHAN

وَعَن سَلْمَانَ الْفَارِسِيِّ ، رَضِيَ الله عَنْهُ , قَالَ : خَطَبَنَا رَسُولُ الله صَلَّى الله عَلَيه وسَلَّم آخِرَ يَوْمٍ مِنْ شَعْبَانَ فَقَالَ : يَا أَيُّهَا النَّاسُ ، إِنَّهُ قَدْ أَظَلَّكُمْ شَهْرٌ مُبَارَكٌ ، فِيهِ لَيْلَةٌ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ ، فَرَضَ الله صِيَامَهُ ، وَجَعَلَ قِيَامَ لَيْلِهِ تَطَوُّعًا ، فَمَنْ تَطَوَّعَ فِيهِ بِخَصْلَةٍ مِنَ الْخَيْرِ كَانَ كَمَنْ أَدَّى فَرِيضَةً فِيمَا سِوَاهُ ، وَمَنْ أَدَّى فِيهِ فَرِيضَةً كَانَ كَمَنْ أَدَّى سَبْعِينَ فَرِيضَةً ، فَهُوَ شَهْرُ الصَّبْرِ ، وَالصَّبْرُ ثَوَابُهُ الْجَنَّةُ ، وَهُوَ شَهْرُ الْمُوَاسَاةِ ، وَهُوَ شَهْرٌ يُزَادُ رِزْقُ الْمُؤْمِنِ فِيهِ , مَنْ فَطَّرَ صَائِمًا كَانَ لَهُ عِتْقَ رَقَبَةٍ ، وَمَغْفِرَةً لِذُنُوبِهِ قِيلَ : يَا رَسُولَ الله ، لَيْسَ كُلُّنَا يَجِدُ مَا يُفَطِّرُ الصَّائِمَ ! قَالَ : يُعْطِي الله هَذَا الثَّوَابَ مَنْ فَطَّرَ صَائِمًا عَلَى مَذْقَةِ لَبَنٍ أَو ْتَمْرَةٍ ، أَوْ شَرْبَةِ مَاءٍ ، وَمَنْ أَشْبَعَ صَائِمًا كَانَ لَهُ مَغْفِرَةً لِذُنُوبِهِ ، وَسَقَاهُ الله مِنْ حَوْضِي شَرْبَةً لاَ يَظْمَأُ حَتَّى يَدْخُلَ الْجَنَّةَ ، وَكَانَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِهِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أَجْرِهِ شَيْئًا ، وَهُوَ شَهْرٌ أَوَّلُهُ رَحْمَةٌ وَأَوْسَطُهُ مَغْفِرَةٌ وَآخِرُهُ عِتْقٌ مِنَ النَّارِ ، وَمَنْ خَفَّفَ عَنْ مَمْلُوكِهِ فِيهِ أَعْتَقَهُ الله مِنَ النَّارِ.

Artinya: Dari Salman al-Farisi r.a. beliau berkata: “Rasulullah s.a.w. berkhutbah di depan kita di hari akhir bulan Sya’ban: “Wahai manusia, telah datang kepadamu bulan yang diberkati, di dalamnya adalam malam lebih baik dari seribu bulan. Allah mewajibkan puasa, menjadikan sholat malam sebagai ibadah sunnah, barang siapa melakukan kebajikan dalam satu perkara baik, maka ia seperti telah menjalankan kewajiban pada perkara lainnya, barang siapa melakukan satu kewajiban maka (pahalanya) seperti menjalankan 70 kewajiban. Itu merupakan bulan kesabaran, orang sabar berpahala sorga, itu bulan tuntunan, pada bulan itu rizqi seorang mukmin ditambahkan, barangsiapa memberi makan orang puasa, maka pahalanya sama dengan memerdekakan seorang budak dan menghapuskan dosa-dosanya. Rasulullah s.a.w. ditanyai:” Wahai Rasulullah, tidak semua kita mempunyai sesuatu untuk memberi makan orang puasa”. Beliau menjawab:”Allah memberi pahala ini kepada orang yang memberi buka puasa walaupun hanya seteguk susu, atau sebutir kurma atau seteguk air, barang siapa memberi makan hingga kenyang kepada orang yang berpuasa maka ia berhak mendapatkan ampunan atas dosa-dosanya, dan Allah akan memberinya minuman dari telagaku dengan minuman yang olehnya ia tidak akan merasa haus hingga memasuki sorga, dan ia mendapatkan pahala seperto orang puasa tadi tanpa kurang sedikitpun. Itu bulan yang awalnya rahmat, tengahnya maghfirah (ampunan) dan akhirnya diselamatkan dari neraka. Barang siapa meringankan beban budaknya pada bulan ini, maka Allah akan menyelamatkannya dari neraka.

Hadist tersebut diriwayatkan oleh Harist bun Usamah dan Ibnu Huzaimah dalam kitab Sahihnya. Ibnu Huzaimah berkata, sekiranya hadist ini sahih, dari jalurnya diriwayatkan oleh Baihaqi dan Ibnu Hayyan.

Ibnu Huzaimah meriwayatkan dengan tambahan:

و استكثروا فيه من أربع خصال : خصلتين ترضون بهما ربكم و خصلتين لا غنى بكم عنهما فأما الخصلتان اللتان ترضون بهما ربكم فشهادة أن لا إله إلا الله و تستغفرونه و أما اللتان لا غنى بكم عنهما فتسألون الله الجنة و تعوذون به من النار.

“Perbanyaklah di dalamnya empat perkara: dua perkara engkau akan mendapatkan keridloan Allah dan dua perkara yang engkau tidak mungkin meninggalkannya. Dua perkara yang bertama adalah Syahadat laa ilaaha illal laah dan meminta ampunanNya. Dua perkara yang kedua adalah meminta sorga dan meminta perlindungan dari neraka.”

A’dzami mengatakan hadist ini dlaif ada rawi Ali bin Zaid bin Jadz’an, lemah.

Ibnu Hajar al-Haitami mengatakan dalam kitab Athraf, rawi hadist tersebut tertumpu pada Ali bin Zaid bin Jadz’an lemah, Yusuf bin Ziyad juga sangat lemah. Iyas juga saya tidak mengetahui rawi ini. Lihat Kanzul Ummal (8/477).

Hukum mengamalkan hadist daif

Salah satu masalah khilafiyah yang sudah lama menjadi perdebatan di anra ulama Islam adalah masalah mengamalkan hadist dlaif. Dalam ilmu mustolah hadist ada 3 kriteria besar hadist berdasarkan kekuatan rawinya.

Yang pertama adalah sahih, dimana masuk di dalamnya hadist hasan (bagus). Ibnu Solah mendefinisikan hadist sahih adalah hadist yang hadist yang sanad atau rawinya menyambung dan diriwayatkan oleh ulama-ulama yang terpercaya sampai Rasulullah s.a.w. Ini disepakati oleh para ulama dapat diamalkan asalkan tidak dipertentangkan kesahihannya. Banyak hadist sahih tapi tidak disepakati, ada sebagian ulama menilainya sahih tapi ulama lain tidak. Umumnya hadist yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim telah disepakati kesahihannya. Namun demikian, hadist sahih juga ada tingkatan dan derajatnya.
Derajat hadist sahih adalah sbb:

  1. Disepakati imam Bukhari Muslim ini hadist paling kuat.
  2. Diriwayatkan oleh imam Bukhari.
  3. Diriwaytkan oleh Imam Muslim.
  4. Sesuai ketentuan kedua imam tadi tapi keduanya tidak meriwayatkan.
  5. Sesuai dengan ketentuan imam Bukhari.
  6. Sesuai dengan ketentuan imam Muslim.
  7. Hadist sahih riwayat imam lain seperti dari kutab-kitab sunan, dan kitab-kitab sahih seperti susunan Ibnu Hibban dan Ibnu Huzaimah.

Yang kedua adalah hadist lemah atau sering disebut hadist dlaif. Ini adalah hadist yang tidak memenuhi ketentuan sahih di atas.
Beberapa penyebab hadist sahih adalah sanad yang tidak utuh alias terputus, atau diriwayatkan oleh ulama yang buruk hafalannya.
Seperti hadist sahih, hadist dlaif juga mempunyai tingkatan dan derajat, mulai yang sangat lemah hingga yang agak kuat. Hadist paling lemah adalah hadist maudlu’ atau palsu. Hadist ini diyakini tidak dari Rasulullah s.a.w. tapi dari perkataan orang yang diklaim dari Rasululllah.
Ibnu Solah membuat kategori hadis dlaif sbb:

  1. dlaif (lemah)
  2. sangat lemah
  3. Wahi (lebih lemah lagi)
  4. munkar (diinkari sanad atau redaksinya)
  5. Maudlu’ (palsu).

Jenis hadist dlaif yang terakhir yaitu maudlu’ hukumnya tidak boleh diamalkan dan tidak boleh diyakini dari Rasulullah. Demikian kesepakatan para ulama.

Adapun hadist dlaif yang biasa, seperti yang banyak didapati dalam kitab-kitab hadist, para ulama berbeda pendapat mengenai hukum mengamalkannya.

Secara umum para ulama sepakat, tidak boleh mengamalkan hadist dlaif untuk masalah-masalah pokok agama seperti rukun Islam, halal, haram dan ketauhidan.

Pertama, Ulama yang berpendapat boleh mengamalkan hadist dlaif untuk masalah agama yang tidak pokok adalah Abdul Rahman bin Mahdi, Ibnu Mubarak, Ahmad bin Hanbal. Bahkan diriwayatkan dari Ahmad bahwa kalau ada pertentangan antara akal dan hadist dlaif maka didahulukan hadist dlaif.

Pendapat kedua mengatakan tidak boleh sama sekali mengamalkan hadist dlaif. Pendapat ini menganggap hadist dlaif semuanya palsu. Ini dipelopori oleh Abu Bakar Arabi. Ulama hadist kontempoprer seperti Albani juga cenderung ke pendapat ini. Pendapat Albani sangat dominan dan diterima oleh kalangan pergerakan Islam Saudi Arbia, atau gerakan yang sering menyebutkan dirinya dengan nama Salafi.

Pendapat ketiga mengatakan boleh mengamalkan hadist dlaif untuk fadlailul a’mal (keutamaan amal). Menurut Ibnu Solah, ini pendapat mayoritas ulama ahli hadist dan ulama fiqih. Namun demikian Ibnu Hajar mensyaratkan ketentuan sbb:

  1. Isi hadist tersebut mengacu kepada ketentuan agama yang ada. Misalnya ada hadist dlaif tentang keutamaan sholat malam, ini diterima karena banyak dalil menyebutkan sholat malam.
  2. Tidak boleh meyakini bahwa itu hadist benar-benar dari Rasulullah, tapi cukup demi alasan hati-hati. Artinya berpandangan bahwa jangan-jangan itu emang benar dari Rasulullah s.a.w. (Taisir Mustolah Hadist: Ibnu Solah: 34).
(Terjemahan dlm Bahasa Indonesia)

Tiada ulasan: